Senin, 28 Oktober 2013

HUKUM MEMPERINGATI MAULID NABI MUHAMMAD SAW

Sejarah Peringatan Maulid Nabi Muhammad
Peringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh raja Irbil; Muzhaffaruddin al Kawkabri pada awal abad ke 7 H. Ibnu Katsir dalam kitab Tarikhnya berkata: “Raja Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal dan beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang pemberani, pahlawan, alim dan adil –semoga Allah merahmatinya“. Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibnu al Jawzi bahwa dalam peringatan tersebut  beliau mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama’ dalam berbagai disiplin ilmu, baik ulama’ fiqih, hadits, kalam, ushul, tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari sebelum hari pelaksanaan beliau telah melakukan persiapan, ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para tamu yang akan hadir.
Seluruh  para ulama’ ketika itu membenarkan apa yang dilakukan oleh raja dan mereka menganggap baik perayaan maulid Nabi yang untuk pertama kalinya digelar. Ibnu Khallikan dalam kitab “Wafayat al A’yan”  menerangkan bahwa al-Hafizh Ibnu Dihyah datang dari Maroko menuju Syam untuk selanjutnya menuju Irak, ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 H, ia mendapati Raja Irbil sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi, karenanya ia menulis sebuah buku maulid yang diberi nama  “at-Tanwir fi Maulid al Basyir an-Nadzir” dan dihadiahkan kepada raja.
Para ulama’ ketika itu dan setelahnya sampai sekarang menganggap bahwa perayaan maulid Nabi adalah sesuatu yang baik, mereka adalah seperti al-Hafizh Ibnu Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al ‘Iraqi (W. 806 H), Al-Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani (W. 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W. 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W. 902 H), Syekh Ibnu Hajar al Haytami (W. 974 H), Imam Nawawi (W. 676 H), Imam al ‘Izz ibn ‘Abdissalam (W. 660 H), Syekh Muhammad Bakhit al Muthi’i (W. 1354 H), Mantan Mufti Mesir yang lalu, Syekh Mushthafa Naja (W. 1351 H) mantan Mufti Beirut terdahulu dan masih banyak lagi yang lain. Bahkan Imam as-Suyuthi menulis karangan khusus tentang maulid yang berjudul “Husnu al Maqsid fi ‘Amal al Maulid”. Maka semenjak saat  itulah perayaan maulid Nabi menjadi tradisi ummat Islam di seluruh belahan dunia setiap bulan Rabi’ul Awwal.
Hukum Peringatan Maulid Nabi Muhammad

Peringatan maulid Nabi Muhammad SAW -seorang nabi yang diutus oleh Allah rahmatan lil ‘alamin- dengan membaca sebagian ayat al-Qur’an dan menyebutkan sebagian sifat-sifat nabi yang mulia, ini adalah perkara yang penuh berkah dan kebaikan yang agung, jika memang perayaan tersebut terhindar dari bid’ah-bid’ah sayyiah yang dicela oleh syara’.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perayaan maulid Nabi mulai dilakukan pada permulaan abad ke 7 H, ini berarti kegiatan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi, para sahabat dan generasi salaf. Meskipun demikian tidak berarti perayaan Maulid Nabi dilarang atau haram karena sesuatu yang tidak dilakukan Nabi belum tentu bertentangan dengan ajaran Nabi. Dalam kasus perayaan maulid Nabi para ulama’ menggolongkannya ke dalam  bid’ah hasanah (perkara baru yang selaras dengan al-Qur’an dan tidak bertentangan dengannya).
Dalil-Dalil Peringatan Maulid Nabi Muhammad
  1. Peringatan Maulid Nabi masuk dalam hadits Nabi r:
“مَنْ  سَنَّ  فيِ  اْلإِسْـلاَمِ  سُنَّةً  حَسَنـَةً  فَلَهُ  أَجْرُهَا وَأَجْرُ  مَنْ  عَمِلَ  بِهَا بَعْدَهُ  مِنْ  غَيْرِ  أَنْ يَنْقُصَ مِنْ  أُجُوْرِهِمْ  شَىْءٌ”  رواه الإمام مسلم في صحيحه
Maknanya:Barang siapa yang memulai dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun“. (H.R. Muslim dalam shahihnya).
Faedah Hadits: Hadits ini memberikan keleluasaan kepada ulama’ ummat Muhammad untuk merintis perkara-perkara baik yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, Atsar maupun Ijma’. Peringatan maulid Nabi adalah perkara baru yang baik dan tidak menyalahi satu-pun di antara dalil-dalil tersebut, berarti hukumnya boleh, bahkan berpahala. Jika ada orang yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi, berarti  telah mempersempit keleluasaan yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada masa Nabi.
  1. Dalil-dalil tentang adanya Bid’ah hasanah yang telah disebutkan dalam pembahasan mengenai Bid’ah.
  2. Hadits riwayat al Bukhari dan Muslim bahwa ketika Nabi tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’, lalu Rasulullah bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab: “Hari ini adalah hari ditenggelamkannya Fir’aun dan diselamatkannya Nabi Musa, jadi kami berpuasa di hari ini karena bersyukur kepada Allah. Lalu Rasulullah bersabda:
“فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ مِنْكُمْ، فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ”.
Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian” lalu beliau berpuasa dan memerintahkan untuk berpuasa.
Faedah Hadits: Diambil faedah dari hadits ini bahwa dianjurkan untuk melakukan perbuatan syukur kepada Allah pada hari tertentu atas nikmat yang Allah berikan, berupa memperoleh nikmat atau diselamatkan dari bahaya. Dan perbuatan syukur tersebut diulang pada hari yang sama setiap tahunnya. Bersyukur kepada Allah bisa dilakukan dalam bentuk ibadah-ibadah seperti sujud syukur, berpuasa, sedekah, membaca al-Qur’an dan semacamnya. Dan bukankah kelahiran Nabi adalah nikmat yang sangat besar ?!. Adakah nikmat yang lebih agung dari dilahirkannya Nabi pada hari itu, Nabi yang menyelamatkan kita dari jalan kesesatan ?!.  Demikian dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar.
  1. Hadits riwayat Imam Muslim bahwa Rasulullah ditanya tentang puasa hari Senin, maka beliau menjawab:
“ذلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ…(رواه مسلم)
Hari itu adalah hari dimana aku dilahirkan“  (H.R. Muslim)
Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah melakukan puasa Senin karena bersyukur kepada Allah bahwa pada hari itu beliau dilahirkan. Ini adalah isyarat dari Nabi bahwa sebagaimana pada hari senin beliau berpuasa karena bersyukur kepada Allah atas kelahiran beliau pada hari itu, demikian juga pada tanggal kelahiran beliau kita melakukan perbuatan syukur dengan membaca al-Qur’an, membaca kisah kelahirannya dan bersedekah. Karena puasa Senin diulang setiap minggunya, berarti peringatan maulid juga diulang setiap tahunnya. Dan karena hari kelahiran beliau masih diperselisihkan oleh para ulama’ mengenai tanggalnya, bukan harinya, maka sah-sah saja jika dilakukan pada tanggal 12, 2, 8, 10 Rabi’ul Awwal atau yang lain, bahkan dalam sebulan penuh sekalipun sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh as-Sakhawi.
Wallahu a’lam.

0 komentar: