Pengertian Tawassul
Tawassul adalah:
Macam-Macam Tawassul
Ada beberapa macam Tawassul:
Ide Dasar Tawassul
Ide dasar dari tawassul adalah sebagai berikut. Allah I telah menetapkan bahwa biasanya urusan-urusan di dunia ini berdasarkan hukum kausalitas; sebab akibat. Sebagai contoh; Allah I sesungguhnya maha kuasa untuk memberikan pahala kepada manusia tanpa beramal sekalipun namun kenyataannya tidak demikian. Allah memerintahkan manusia untuk beramal dan mencari hal-hal yang mendekatkan diri kepada-Nya. Allah I berfirman:
Allah juga berfirman:
Ayat ini memerintahkan untuk mencari segala hal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, artinya carilah sebab-sebab tersebut, kerjakanlah sebab-sebab itu maka Allah akan mewujudkan akibatnya. Allah akan memenuhi permohonan-permohonan dengan sebab-sebab tersebut, padahal Ia maha kuasa untuk mewujudkan akibat-akibat tanpa sebab-sebab tersebut. Dan Allah I telah menjadikan tawassul dengan para nabi dan wali sebagai salah satu sebab dipenuhinya permohonan hamba, oleh karenanya kita bertawassul dengan para nabi dan wali dengan harapan agar dikabulkan permohonan kita oleh Allah.
Jadi tawassul adalah sebab syar’i yang menyebabkan dikabulkannya permohonan seorang hamba. Tawassul dengan para nabi dan wali diperbolehkan baik di saat mereka masih hidup atau sudah meninggal. Karena seorang mukmin yang bertawassul keyakinannya adalah bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya secara hakiki kecuali Allah. Para nabi dan para wali tidak lain hanyalah sebab dikabulkannya permohonan hamba karena kemuliaan dan ketinggian derajat mereka. Ketika seorang nabi atau wali masih hidup Allah yang mengabulkan permohonan hamba, demikian pula setelah mereka meninggal Allah juga yang mengabulkan permohonan hamba, bukan nabi atau wali itu sendiri. Mereka yang mengatakan tawassul hanya boleh dengan orang yang masih hidup dan haram tawassul dengan nabi atau wali yang sudah meninggal seakan mereka meyakini ta’tsir, penciptaan, pemberian pertolongan dan menjauhkan dari mudlarat secara hakiki bagi nabi atau wali yang masih hidup dan ini jelas batil. Karena yang menciptakan manfaat dan menjauhkan dari mudlarat hanya-lah Allah, tidak ada pencipta selain Allah.
Sebagian kalangan memiliki persepsi bahwa tawassul adalah memohon diciptakan manfaat dan dijauhkan dari mudlarat kepada seorang nabi atau wali dengan keyakinan bahwa yang mendatangkan bahaya dan manfa’at secara hakiki adalah seorang Nabi atau wali tersebut. Persepsi yang keliru tentang tawassul ini kemudian membuat mereka menghakimi orang yang bertawassul sebagai kafir musyrik. Padahal hakekat tawassul sesungguhnya di kalangan orang-orang yang bertawassul adalah memohon datangnya manfa’at (kebaikan) atau dihindarkan dari mara bahaya (keburukan) dari Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram) keduanya.
Orang yang bertawassul adalah seperti orang yang sakit pergi ke dokter dan meminum obat agar diberikan kesembuhan oleh Allah, meskipun keyakinannya pencipta kesembuhan adalah Allah sedangkan obat hanyalah sebab kesembuhan. Jika obat dalam contoh ini adalah sabab ‘aadi, maka tawassul adalah sabab syar’i. Seandainya tawassul bukan sebab syar’i, maka Rasulullah tidak akan mengajarkan orang buta (yang datang kepadanya) agar bertawassul dengannya. Dalam hadits shahih bahwa Rasulullah r mengajarkan kepada seorang buta untuk berdo’a dengan mengucapkan:
Orang tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah kepadanya, ia adalah seorang buta yang ingin diberi kesembuhan dari butanya, akhirnya ia diberikan kesembuhan oleh Allah di belakang Rasulullah (tidak di hadapan Rasulullah) dan kembali ke majelis Rasulullah dalam keadaan sembuh dan bisa melihat. Seorang sahabat lain -yang menyaksikan langsung peristiwa ini, karena pada saat itu ia berada di majelis Rasulullah- mengajarkan petunjuk ini kepada orang lain pada masa khalifah Utsman ibn ‘Affan t yang tengah mengajukan permohonan kepada khalifah Utsman. Pada saat itu Sayyidina Utsman sedang sibuk dan tidak sempat memperhatikan orang ini. Maka orang ini melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh orang buta pada masa Rasulullah tersebut. Setelah itu ia mendatangi Utsman ibn ‘Affan dan akhirnya ia disambut oleh khalifah ‘Utsman dan dipenuhi permohonannya. Umat Islam selanjutnya senantiasa menyebutkan hadits ini dan mengamalkan isinya hingga sekarang. Para ahli hadits juga menuliskan hadits ini dalam karya-karya mereka seperti al-Hafizh at Thabarani – beliau menyatakan dalam “al Mu’jam al Kabir” dan “al Mu’jam ash-Shaghir”: “Hadits ini shahih”-,[1] al-Hafizh at-Turmudzi dari kalangan ahli hadits mutaqaddimin, juga al-Hafizh an-Nawawi, al-Hafizh Ibn al Jazari dan ulama’ muta-akhkhirin yang lain.
Hadits ini adalah dalil diperbolehkannya bertawassul dengan Nabi r pada saat Nabi masih hidup di belakangnya (tidak di hadapannya). Hadits ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan Nabi setelah beliau wafat seperti diajarkan oleh perawi hadits tersebut, yaitu sahabat Utsman ibn Hunayf kepada tamu sayyidina Utsman, karena memang hadits ini tidak hanya berlaku pada masa Nabi hidup tetapi berlaku selamanya dan tidak ada yang menasakhnya.
Tawassul adalah:
“طَلَبُ حُصُوْلِ مَنْفَعَةٍ أَوْ انْدِفَاعِ مَضَرَّةٍ مِنَ
اللهِ بِذِكْرِ اسْمِ نَبِيٍّ أَوْ وَلِيٍّ إِكْرَامًا لِلْمُتَوَسَّلِ
بِهِ”.
“Memohon datangnya manfa’at (kebaikan) atau dihindarkan dari mara bahaya (keburukan) dari Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram) keduanya”.Macam-Macam Tawassul
Ada beberapa macam Tawassul:
- Tawassul dengan Asma’ Allah dan Sifat-sifat-Nya
“اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ
أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ
قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ
اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ
خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ
عِلْمِ الغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ القُرْءَانَ رَيِيْعَ
قَلْبِيْ وَنُوْرَ صَدْرِيْ وَجَلاَءَ حُزْنِيْ وَذَهَابَ هَمِّيْ”(رواه
الطبراني في المعجم الكبير)
“Ya Allah, sungguh aku adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu yang
laki-laki dan perempuan, jiwaku ada dalam kekuasaan-Mu, ketetapan-Mu
berlaku terhadapku, ketetapan-Mu bagiku adalah adil. Aku memohon
kepada-Mu dengan setiap nama yang Engkau miliki, yang Engkau namakan
Dzat-Mu dengannya, atau Engkau beritahukan kepada salah seorang
hamba-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang hanya Engkau
yang mengetahuinya, (Aku memohon) jadikanlah al-Qur’an sebagai isi dan
penyemarak hatiku, penerang bagi jiwaku, pengangkat kesedihanku dan
penghilang kesusahanku“.- Tawassul dengan Amal Saleh
- Tawassul dengan adz-Dzawaat al Faadlilah
”اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ
بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ
أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضَى لِيْ”.(رواه
الطبراني في معجميه الكبيرو الصغير)
“Ya Allah aku memohon dan memanjatkan do’a kepada-Mu dengan Nabi
kami Muhammad; Nabi pembawa rahmat, wahai Muhammad, sesungguhnya aku
memohon kepada Allah dengan engkau berkait dengan hajatku agar
dikabulkan“.(H.R. at-Tabrani dalam mu’jam al-Kabir dan ash- Shaghir)Ide Dasar Tawassul
Ide dasar dari tawassul adalah sebagai berikut. Allah I telah menetapkan bahwa biasanya urusan-urusan di dunia ini berdasarkan hukum kausalitas; sebab akibat. Sebagai contoh; Allah I sesungguhnya maha kuasa untuk memberikan pahala kepada manusia tanpa beramal sekalipun namun kenyataannya tidak demikian. Allah memerintahkan manusia untuk beramal dan mencari hal-hal yang mendekatkan diri kepada-Nya. Allah I berfirman:
)واستعينوا بالصبر والصلاة وإنها لكبيرة على الخاسعين( [سورة البقرة:45]
Maknanya: “Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat, dan
sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang
yang khusyu’” (Q.S. al Baqarah: 45)Allah juga berfirman:
)وابتغوا إليه الوسيلة( [سورة المائدة:35]
Maknanya: “Dan carilah hal-hal yang (bisa) mendekatkan diri kalian kepada Allah” (Q.S. al Mai-dah: 35)Ayat ini memerintahkan untuk mencari segala hal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, artinya carilah sebab-sebab tersebut, kerjakanlah sebab-sebab itu maka Allah akan mewujudkan akibatnya. Allah akan memenuhi permohonan-permohonan dengan sebab-sebab tersebut, padahal Ia maha kuasa untuk mewujudkan akibat-akibat tanpa sebab-sebab tersebut. Dan Allah I telah menjadikan tawassul dengan para nabi dan wali sebagai salah satu sebab dipenuhinya permohonan hamba, oleh karenanya kita bertawassul dengan para nabi dan wali dengan harapan agar dikabulkan permohonan kita oleh Allah.
Jadi tawassul adalah sebab syar’i yang menyebabkan dikabulkannya permohonan seorang hamba. Tawassul dengan para nabi dan wali diperbolehkan baik di saat mereka masih hidup atau sudah meninggal. Karena seorang mukmin yang bertawassul keyakinannya adalah bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya secara hakiki kecuali Allah. Para nabi dan para wali tidak lain hanyalah sebab dikabulkannya permohonan hamba karena kemuliaan dan ketinggian derajat mereka. Ketika seorang nabi atau wali masih hidup Allah yang mengabulkan permohonan hamba, demikian pula setelah mereka meninggal Allah juga yang mengabulkan permohonan hamba, bukan nabi atau wali itu sendiri. Mereka yang mengatakan tawassul hanya boleh dengan orang yang masih hidup dan haram tawassul dengan nabi atau wali yang sudah meninggal seakan mereka meyakini ta’tsir, penciptaan, pemberian pertolongan dan menjauhkan dari mudlarat secara hakiki bagi nabi atau wali yang masih hidup dan ini jelas batil. Karena yang menciptakan manfaat dan menjauhkan dari mudlarat hanya-lah Allah, tidak ada pencipta selain Allah.
Sebagian kalangan memiliki persepsi bahwa tawassul adalah memohon diciptakan manfaat dan dijauhkan dari mudlarat kepada seorang nabi atau wali dengan keyakinan bahwa yang mendatangkan bahaya dan manfa’at secara hakiki adalah seorang Nabi atau wali tersebut. Persepsi yang keliru tentang tawassul ini kemudian membuat mereka menghakimi orang yang bertawassul sebagai kafir musyrik. Padahal hakekat tawassul sesungguhnya di kalangan orang-orang yang bertawassul adalah memohon datangnya manfa’at (kebaikan) atau dihindarkan dari mara bahaya (keburukan) dari Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram) keduanya.
Orang yang bertawassul adalah seperti orang yang sakit pergi ke dokter dan meminum obat agar diberikan kesembuhan oleh Allah, meskipun keyakinannya pencipta kesembuhan adalah Allah sedangkan obat hanyalah sebab kesembuhan. Jika obat dalam contoh ini adalah sabab ‘aadi, maka tawassul adalah sabab syar’i. Seandainya tawassul bukan sebab syar’i, maka Rasulullah tidak akan mengajarkan orang buta (yang datang kepadanya) agar bertawassul dengannya. Dalam hadits shahih bahwa Rasulullah r mengajarkan kepada seorang buta untuk berdo’a dengan mengucapkan:
”اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ
بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ
أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضَى لِيْ”.
“Ya Allah aku memohon dan memanjatkan do’a kepada-Mu dengan Nabi
kami Muhammad; Nabi pembawa rahmat, wahai Muhammad, sesungguhnya aku
memohon kepada Allah dengan engkau berkait dengan hajatku agar
dikabulkan“.Orang tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah kepadanya, ia adalah seorang buta yang ingin diberi kesembuhan dari butanya, akhirnya ia diberikan kesembuhan oleh Allah di belakang Rasulullah (tidak di hadapan Rasulullah) dan kembali ke majelis Rasulullah dalam keadaan sembuh dan bisa melihat. Seorang sahabat lain -yang menyaksikan langsung peristiwa ini, karena pada saat itu ia berada di majelis Rasulullah- mengajarkan petunjuk ini kepada orang lain pada masa khalifah Utsman ibn ‘Affan t yang tengah mengajukan permohonan kepada khalifah Utsman. Pada saat itu Sayyidina Utsman sedang sibuk dan tidak sempat memperhatikan orang ini. Maka orang ini melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh orang buta pada masa Rasulullah tersebut. Setelah itu ia mendatangi Utsman ibn ‘Affan dan akhirnya ia disambut oleh khalifah ‘Utsman dan dipenuhi permohonannya. Umat Islam selanjutnya senantiasa menyebutkan hadits ini dan mengamalkan isinya hingga sekarang. Para ahli hadits juga menuliskan hadits ini dalam karya-karya mereka seperti al-Hafizh at Thabarani – beliau menyatakan dalam “al Mu’jam al Kabir” dan “al Mu’jam ash-Shaghir”: “Hadits ini shahih”-,[1] al-Hafizh at-Turmudzi dari kalangan ahli hadits mutaqaddimin, juga al-Hafizh an-Nawawi, al-Hafizh Ibn al Jazari dan ulama’ muta-akhkhirin yang lain.
Hadits ini adalah dalil diperbolehkannya bertawassul dengan Nabi r pada saat Nabi masih hidup di belakangnya (tidak di hadapannya). Hadits ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan Nabi setelah beliau wafat seperti diajarkan oleh perawi hadits tersebut, yaitu sahabat Utsman ibn Hunayf kepada tamu sayyidina Utsman, karena memang hadits ini tidak hanya berlaku pada masa Nabi hidup tetapi berlaku selamanya dan tidak ada yang menasakhnya.
0 komentar:
Posting Komentar