Biografi Singkat KH. Mustaqim bin Husain (Ayahanda KH. Abdul Jalil Mustaqim)
Kaitkata:KH. Abdul Jalil Mustaqim, KH. Mustaqim bin Husain, mursyid, PETA Tulungagung
Hadlratus Syaikh Mustaqim bin Husain lahir di desa Nawangan, kecamatan
Keras, kabupaten Kediri, pada tahun 1901 M. Ayah beliau bernama Husain
bin Abdul Djalil, yang merupakan keturunan ke 18 dari Mbah Panjalu,
Ciamis, Jawa Barat (Ali bin Muhammad bin Umar).
Ketika masih
berusia 12-13 tahun, Hadlratus Syaikh Mustaqim bin Husain mengabdi
kepada Kiai Zarkasyi di dusun Tulungagung. Beliau mengabdi dan belajar
membaca Al-Quran serta ilmu agama kepada Kiai Zarkasyi. Pada usia
tersebut, Hadlratus Syaikh Mustaqim bin Husain dikaruniai oleh Allah
hati yang dapat berdzikir Allah, Allah, Allah …… tanpa berhenti.
Dari kekuatan dzikir yang demikian tadi, Hadlratus Syaikh Mustaqim bin
Husain juga dikaruniai oleh Allah ilmu sirri atau ilmu mukasyafah .
Beliau bisa mengetahui ilmu ghaib, alam barzakh dan alam jin, serta
keinginan-keinginan yang terbersit di hati orang lain. Pada saat itu,
Allah selalu menjaga beliau dari sifat-sifat madzmumah (sifat yang
tercela).
Setelah beliau dewasa, Hadlratus Syaikh dinikahkan
oleh Kyai Zarkasyi dengan putri dari Mbah H. Rois yang juga berdomisili
di Kauman, yang bernama Ibu Nyai Halimah Sa’diyyah. Mbah H. Rois hanya
mempunyai 2 anak, yang pertama bernama Sholeh Sayuthi, yang terkenal
dengan sebutan Wali Sayuti. Yang kedua bernama Ibu Nyai Halimah
Sa’diyyah yang dinikahkan dengan Hadlratus Syaikh Mustaqim.
Sebagai seorang suami, Hadlratus Syaikh melakukan kewajibannya dengan
mencari nafkah untuk keluarganya dengan menjadi tukang potong rambut ,
tukang jahit sepatu dan berdagang. Hadlratus Syaikh pernah mendirikan
toko yang diberi nama Bintang Sembilan. Meskipun kehidupan ekonomi
keluarganya selalu memprihatinkan, pada saat itu beliau tidak pernah
meninggalkan kewajiban untuk berbuat amar ma’ruf, yaitu dengan
mengajarkan dzikir yang dimasukkan ke dalam jurus-jurus pencak silat.
Di zaman penjajahan Jepang, Hadlratus Syaikh mengalami suatu ujian
bersama dengan para ulama seluruh Indonesia. Pemerintah Jepang
menganggap bahwa para Ulama akan melakukan pemberontakan, sehingga para
Kyai ditangkap, ada yang disiksa, dan banyak yang disakiti. Setelah
selamat dari penyiksaan Jepang, Hadlratus syaikh meneruskan
pengajarannya, yaitu dengan mengajarkan dzikir di dalam hati, serta
akhlaqul karimah, terutama akhlaq kepada Allah.
Rumusan amalan-amalan beliau menekankan bahwa sebelum dan sesudah wirid harus meminta pada Allah agar mendapat 4 hal:
1. Selamat di dunia dan akhirat.
2. Hati yang bersih dari sifat madzmumah (sifat tercela).
3. Kekalnya iman sampai sakaratul maut dan bisa membaca kalimat thayyibah, serta bisa husnul khatimah.
4. Semua hal yang barakah, maslahah, manfaat di dunia dan akhirat.
Sebab-sebab KH. Mustaqim Menerima Thariqah Syadzaliyyah
Menurut KH. Abdul Jalil Mustaqim, Romo KH. Mustaqim bin Husain sudah
mempunyai hizib-hizib sebelumnya, seperti Hizib Baladiyyah, Hizib Kafi
dan lain-lain. Pada suatu saat, murid Syaikh Mustaqim yang bernama
Asfaham dari Ngadiluwih, Kediri, ketika riyadlah mengamalkan aurad Hizib
Kafi dan masuk ke dalam maqam Jadzab Billah. Pada maqam jadzab
tersebut, pak Asfaham berkelana sampai masuk Pondok Termas pacitan, Pak
Asfaham berbicara banyak hal, termasuk mengajak beradu argumentasi
(berdebat) kepada para Ustadz Pondok Termas Pacitan.
Pada saat
itu, Syaikh Abdur Razzaq mengetahui bahwa ilmunya Pak Asfaham itu haq.
Kemudian Syaikh Abdur Razzaq memanggil Pak Asfaham dan bertanya, “siapa
gurumu?” kemudian Pak Asfaham menjawab bahwa gurunya adalah KH. Mustaqim
dari Kauman Tulungagung.
Di lain waktu, Kyai Abdur Razzaq
bertamu (sowan) kepada KH. Mustaqim. Dalam persowanan tersebut Kyai
Abdur Razzaq meminta ijazah ‘ammah kepada KH. Mustaqim. Akan tetapi
keduanya malah saling menghindar untuk menjadi guru. Pada akhirnya,
keduanya sepakat untuk sama-sama saling memberikan ijazah. Romo KH.
Mustaqim memberikan ijazah Hizib Baladiyah kepada Romo Kyai Abdur
Razzaq. Dan Romo Kyai Abdur Razzaq memberikan baiat Aurad Syadzaliyyah.
Pada saat akan diberi baiat Aurad Syadzaliyyah, KH. Mustaqim menolak.
Beliau berkata, “Aurad Syadzaliyyah itu berat, setahu saya ada amalan
yang ngere (keluar dari rumah tidak boleh membawa bekal, makannya minta
ke orang lain, membawa baju hanya satu setel saja untuk menutupi
aurat)”. Romo Kyai Abdur Razzaq berkata, “Kalau anda pasti kuat”.
Kemudian KH. Mustaqim jadi menerima baiat Aurad Syadzaliyyah dari Romo
Kyai Abdur Razzaq. Setelah berjalan cukup lama, KH. Mustaqim sudah
memberikan baiat kepada murid-murid yang menginginkan Aurad
Syadzaliyyah. Romo Kyai Abdur Razzaq berkata, “Thariqah Syadzaliyyah ini
nanti pusatnya akan pindah ke Kedung”, (yang dimaksud adalah akan
pindah ke Syaikh Mustaqim Kauman, Tulungagung).
Pada tahun 1947
M, Romo Kyai Abdur Razzaq datang ke Tulungagung. Beliau sangat senang
dengan KH. Abdul Jalil Mustaqim, dan pada saat itu KH. Abdul Jalil
Mustaqim masih berusia 5 tahun. KH. Abdul Jalil Mustaqim digendong oleh
Kyai Abdur Razzaq mengelilingi alun-alun Tulungagung. Sepertinya Romo
Kyai Abdur Razzaq sudah mengetahui bahwa yang akan menjadi penerus guru
mursyid setelah Syaikh Mustaqim adalah KH. Abdul Jalil Mustaqim.
Musibah di Zaman Penjajahan Jepang (1942-1945)
Pada saat Jepang menjajah bangsa Indonesia , Jepang memaksa bangsa
Indonesia untuk melakukan Seikerei , yang artinya pada saat matahari
terbit, menghadap ke timur untuk menyembah kepada matahari (ibadah agama
Shinto ). Dan pada saat jam 07.00 pagi harus membungkuk seperti posisi
ruku’ menghadap ke utara agak serong ke barat menghadap ke arah kota
Tokyo Jepang , untuk menyembah Tenno Haika, Raja Jepang. Kedua perintah
Jepang tersebut dianggap musyrik oleh agama Islam. Oleh karena itu,
Syaikh Mustaqim dan ulama lainnya menentang hal tersebut dan tidak mau
melakukannya. Pemerintah Jepang mempunyai anggapan bahwa para ulama dan
kyai akan melakukan pemberontakan kepada pemerintah Jepang. Sehingga
pemerintah Jepang dengan biadabnya melakukan penyiksaan kepada para
ulama termasuk Syaikh Mustaqim. Penyiksaan Jepang yang dialami oleh
Syaikh Mustaqim antara lain:
Tubuh beliau dijepit dengan satu bal es batu di dada, dan satu bal lagi di bagian belakang sambil tubuh beliau dirantai.
Beliau dijatuhkan dari ketinggian mencapai 10 meter.
Perut beliau diisi air lewat hidung dengan menggunakan pipa kecil,
seperti yang dialami oleh kyai-kyai lainnya. Pada saat Jepang memasukkan
air ke dalam hidung KH. Mustaqim, yang dimasuki air malah bukan hidung
beliau, tetapi kantong ikat pinggang yang sedang beliau pakai.
KH. Mustaqim diberi keselamatan dari semua hal tersebut berkat perlindungan dari Allah.
Usaha Ekonomi
KH. Mustaqim bin Husain mempunyai istri dan putra-putri. Beliau juga
melakukan usaha secara lahir, yaitu dengan berusaha mencari nafkah untuk
mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Beliau pernah menjadi tukang
potong rambut, penjahit sepatu dan sandal, dan membuka toko yang bernama
Toko Bintang Sembilan.
Akan tetapi semua usaha lahir beliau
tersebut tidak ada yang kelihatan menghasilkan banyak uang. Sepertinya
beliau hanya melakukan ikhtiyar secara lahir saja. Buktinya, pada saat
Kyai Muslim (Alm) akan pergi mondok ke Pondok Mojosari Loceret Nganjuk,
Kyai Muslim meminta uang kepada KH. Mustaqim, dan KH. Mustaqim menyuruh
beliau untuk mengambil sendiri uang yang terletak di bawah kasur. Pada
saat Kyai Muslim membuka kasur tersebut, ternyata yang ada di bawah
kasur tersebut adalah uang semua. Tetapi Kyai Muslim hanya mengambil
seperlunya saja.
Perkataan-Perkataan Hikmah
Al-Maghfurullah
KH. Mustaqim bin Husain jika berbicara (dawuh), banyak yang menggunakan
kalam kinayah (kata sindiran) daripada kalam sharihah (kata
terang-terangan). Begitu juga jika akan terjadi peristiwa yang aneh,
beliau hanya memberikan isyarat saja.
KH. Mustaqim memelihara
ayam yang sebelah kanan berwarna merah, dan yang sebelah kiri berwarna
putih bersih. Pada bulan Rabi’ul Awal, KH. Mustaqim berkata, “Bangsa
Jepang berada di Indonesia masih 6 bulan lagi”. Dan terbukti setelah
sampai pada hari Jumat Legi tanggal 9 Ramadhan 1363 H, yang bertepatan
dengan tanggal 17 Agustus 1945 M, Negara Indonesia merdeka dan
mengibarkan bendera merah putih.
KH. Mustaqim bin Husain juga
pernah mempunyai ayam yang berkaki satu, jika berjalan meloncat-loncat,
di atas kepalanya dekat dengan jenggernya ditempati sarang lebah, jika
ayam tersebut akan berpindah tempat, si lebah keluar dari sarangnya
kemudian mengikuti ayam tersebut.
Begitu juga dengan KH. Abdul
Jalil Mustaqim. Beliau pernah memelihara burung perkutut putih, dan
selang beberapa tahun kemudian beliau memelihara burung gagak putih.
Semua hal tersebut menunjukkan bahwa Mursyid Kamil itu tetap ada, tetapi
sangat langka dan susah untuk dicari. Bisa ditemukan, tetapi harus
lewat kesucian.
KH. Mustaqim bin Husain kalau dawuh kepada
murid-muridnya kebanyakan memakai kalam kinayah , begitu juga dengan KH.
Abdul Jalil Mustaqim. Menurut perkataan KH. Shadiq Muslih Al-Hajari,
jika mendengarkan perkataan-perkataan KH. Mustaqim dan KH. Abdul Jalil
Mustaqim, harus dengan berdzikir kepada Allah, supaya kita bisa memahami
makna dari perkataan beliau tersebut, karena sumber-sumber perkataan
beliau tersebut berasal dari asrarillah (dawuh sirri).
Perkataan-perkataan tersebut antara lain:
1. “Menjadi orang mukmin itu harus sering memotong kuku”
Artinya: jadi orang mukmin itu harus menghilangkan sifat ‘ujub (merasa dirinya paling baik) dan supaya bisa ikhlas.
2. “Menjadi murid thariqah itu seperti orang yang antri karcis di
loket. Terkadang didesak oleh temannya, diserobot gilirannya, dan
ketetesan keringat temannya. Akan tetapi semua itu jangan dihiraukan,
tetaplah menghadap ke loket”.
Artinya: menjadi murid thaariqah itu
terkadang mendapatkan gangguan dari orang lain, keluarga, bahkan dari
sesama murid. Jangan hiraukan dan tetap menghadap ke depan. Hanya
berharap barakah kepada guru mursyid supaya bisa cepat mendapat tiket
pesawat Thariqah Syadzaliyyah.
3. “Mencari ilmu di depan guru mursyid harus seperti orang yang mencari rumput, tapi jangan seperti orang yang mencari rumput”.
Artinya: orang yang mencari rumput jika melihat ke bawah, akan mendapat
rumput yang banyak, wadahnya cepat penuh. Tetapi jika melihat ke tempat
lain, sepertinya rumput yang kita lihat di tempat yang lebih jauh
terlihat lebih subur daripada rumput yang ada di dekat kita.
Kenyataannya, rumputnya sama saja, bahkan lebih sedikit. Karena
kebanyakan pindah-pindah maka waktunya habis dan wadah rumputnya tetap
kosong. Orang yang mencari ilmu haqiqat harus menghadap pada satu guru,
jangan sampai melirik guru yang lainnya. Malah akan menjadi hijab
(penghalang) keberhasilannya. Kecuali jika diizini oleh sang guru. KH.
Abdul Jalil Mustaqim pernah berkata, “Jangan berpoligami!” . Artinya,
jika mengamalkan amalan Syadziliyyah tidak boleh mengamalkan amalan
lainnya yang batal, atau yang tidak seizin guru mursyid.
Maqam dan Derajat KH. Mustaqim bin Husain
Pada tahun 1953, KH. Mustaqim bin Husain menerima dawuh sirri, bahwa
yang akan meneruskan kemursyidan nanti adalah KH. Abdul Jalil Mustaqim
(putra KH. Mustaqim). Pada saat itu, KH. Abdul Jalil Mustaqim sudah
mulai disuruh membaiat, meskipun pada saat itu beliau masih berusia 11
tahun.
Pada tahun 1981, Ibu Nyai Hj. Halimah Sa’diyah (istri
KH. Mustaqim), Ibu Nyai Hj. Anni Siti Fatimah (putri KH. Mustaqim),
serta Bapak H. Jam’an Prawiro, S.H (putra mantu KH. Mustaqim),
bersama-sama melakukan ihram haji dan umrah. Ibu Nyai Hj. Anni Siti
Fatimah dan Bapak H. Jam’an Prawiro, S.H mengamanatkan haji buat KH.
Mustaqim yang dilaksanakan oleh H. Masduqi Tunjung, Udanawu, Blitar, di
mana pada saat itu H. Masduqi masih bermukim di Makkah. Serban dan
sertifikat KH. Mustaqim disimpan oleh KH. Arif Mustaqim. Sebelum
menerima sertifikat tersebut, KH. Arif Mustaqim sudah inkisyaaf
(diperlihatkan hal-hal sirri) bertemu dengan KH. Mustaqim yang
menggunakan jubah, kopiah dan sorban (menggunakan pakaian haji).
KH. Mustaqim dikaruniai kelebihan oleh Allah bisa berbicara dengan
menggunakan bahasa orang yang sedang bertamu (sowan). Menurut K. Lamri
Kedung Sigit, Karangan, Trenggalek, KH. Mustaqim pernah menerima tamu
dari India yang tidak membawa penerjemah bahasa. KH. Mustaqim langsung
menemui tamu tersebut dan bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa
India. K. Lamri tetap mendengarkan pembicaraan beliau sambil menyapu di
halaman mushalla.
Menurut Pak Ahmad bin Badri Jeli, Karangrejo,
Tulungagung, pada saat dia berkelana selama 18 tahun, hingga anak dan
cucunya lahir dia tidak mengetahuinya. Di dalam perjalanan berkelananya,
dia sempat bertamu (sowan) kepada KH. Muhammad Dalhar Magelang (yang
makamnya ada di Gunung Pring), Pak Ahmad bin Badri ditanya oleh KH.
Muhammad Dalhar, “Anda dari mana?”. Kemudian Pak Ahmad bin Badri
menjawab bahwa dia berasal dari Jeli, Karangrejo, Tulungagung. Kemudian
KH. Muhammad Dalhar bertanya lagi, “Sudah tahu KH. Mustaqim Kauman
Tulungagung?. Pak Ahmad bin Badri menjawab, “Sudah, saya sudah tahu
beliau. Malah bapak saya ikut amalan thariqah KH. Mustaqim”. Kemudian
KH. Muhammad Dalhar berkata, “Bahwa KH. Mustaqim itu adalah Wali Quthub
yang derajat kewaliannya mastur”.
Padahal di daerah Tulungagung
dan sekitarnya, banyak yang tidak mengetahui KH. Mustaqim. Yang mereka
ketahui hanya Pak Takim tukang potong rambut.
KH. Mustaqim juga
membaiat Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Qadiriyah wa Al-Naqsyabandiyah.
Beliau menerima baiat dari KH. Khudlari bin Hasan Malangbong, Garut,
Jawa Barat. KH. Mustaqim menimba ilmu yang banyak sekali dari KH.
Khudlari bin Hasan, termasuk belajar ilmu syari’at lengkap selama 6
bulan.
KH. Mustaqim bin Husain Wafat
Pada tahun 1970, pada
hari Ahad tanggal 1 Muharram setelah Ashar, di mana di situ terdapat 4
orang yang menemani KH. Mustaqim yang sedang naza’ . Salah satunya
adalah Mayor TNI AD Shomad Srianto (mantan komandan KODIM Tulungagung).
Pada saat naza’ , KH. Mustaqim kelihatan nafasnya tersendat-sendat
(idlthirob) dan sesak nafas. Akan tetapi sesak nafas beliau ini bukan
berarti tanda-tanda su’ul khatimah . Menurut kitab Tanbihul Mughtarrin
halaman 45, jika ada guru mursyid pada saat naza’ -nya terlihat
kesakitan dan sesak nafas/nafas tersendat-sendat, itu dikarenakan dua
hal:
1. Karena sangat senang akan bertemu dengan Allah.
2.
Karena rasa kasihan beliau kepada semua murid beliau, ingin memberikan
pendidikan (tarbiyah) kepada para murid hingga mencapai ma’rifat billah .
Oleh karena itu, karena saling tarik menariknya dua hal tersebut,
sehingga jasad beliau terlihat mengalami nafas tersendat-sendat.
Putra-Putri KH. Mustaqim bin Husain dengan Ibu Nyai Hj. Halimah Sa’diyah
1. Ibu Nyai Thowilah Sumaranten.
2. Bapak KH. Arif.
3. Bapak Muhsin.
4. Bapak Yasin.
5. Ibu Maratun.
6. Bapak KH. Abdul Ghafur.
7. Ibu Nyai Hj. Anni Siti Fatimah.
8. Bapak KH. Kyai Ali Murtadlo.
9. Romo KH. Muhammad Abdul Jalil.
10. Ibu Nyai Siti Makhfiyah.
11. Bapak Hanshon Athlab.
Sumber: Buku Napak Tilas Auliya’ 2010 , Pustaka Al-Muhibbin, Tambakberas Jombang
0 komentar:
Posting Komentar